Google

Friday, March 16, 2018

PARA PEMBURU HIBAH PENELITIAN

Fenomena Pemburu Hibah Penelitian : sebuah opini
Oleh : Djoko Adi Walujo

Kini pemerintah sedang menumpahkan ambisi sehatnya, ingin para dosen meningkatkan kinerja akademinya melalui berbagai bentuk penelitian ilmiah dan tetunnya dikaitkan dengan artikel ilmiah sebagai out put medium dan produk akhirnya berupa buku teks, buku ajar, atau referensi lainnya. Para dosen semangatnya dipompa habis, semua model motivasi dicurahkan, berbagai wahana dibuat, bahkan payung hukum beserta rule of conduct tertata rapi guna menunjang keinginan itu.  Berbagai skema dibuat dengan tarif yang sangat jelas. Bahkan semua dosen merespon dengan gegap gemita, entah karena tergiur oleh tuntutan akademik atau sedang melakukan amanah profesi, atau yang lain. Mungkin dosen menganggap bahwa riset dipandang secara filosofis untuk membangun kompetensi, karena dengan riset akan menguatkan ranah keahlian (expertise) sekaligus meneguhkan tanggung jawab ilmiah. Namun tentu juga akan melahirkan sikap yang lain, riset dianggap ladang baru yang digunakan mengisi pundi pundi penebal dompet belaka. Dampak inilah yang tentunya merupakan sikap yang jauh dari kompetensi akademis maupun kompetensi personal. Hal ini jika terjadi maka ambisi sehat yang dilakukan pemerintah akan gagal justru akan menumbuhkan pemburu-pemburu hibah penelitian yang meninggalkan norma kepatutan.

Capaian lumayan pemerintah:
Data menunjukkan ketika motivasi diberikan kepada dosen, yang terjadi secara signifikan adalah semakin tumbuh suburkan secara kuantita dan kualita dosen meneliti. Kini bahkan capaian penulisan artikel tingkatan mendunia juga tersentuh dengan masif oleh para dosen. Thomson dan Scopus dulu merupakan barang langka ini sudah hal yang biasa. Proceeding yang memiliki reputasi dengan berbagai macam indeks dan pengakuan sudah menjadi makanan sehari hari.
Kementerian juga melakukan motivasi canggih bak arena pertandingan dengan melucurkan SINTA, setiap mata dan telinga diajak menjadi wasit adil kinerja penelitian. Sinta bagaikan indek di bursa efek, sitasi dan dokumen artikel setiap hari diperlobakan. Top 200 Affiliation menjadi ajang tanding, itupun masih ditambah dengan Top 50 Author yang sengaja memasang kinerja pribadi dosen. Inilah suatu capaian yang teruji.

Perguruan Tinggi memasang AKSI
Nampaknya ‘bursa efek kinerja ilmiah’ yang kenal dengan SINTA juga melahirkan kompetisi antar perguruan tinggi.  Janji janji bahkan ada yang dijadikan regulasi, bahwa dosen yang mempunyai kinerja penelitian atau penulis ilmiah akan mendapatkan bonus layaknya  seorang atlet yang baru saja menggodol medali. Kalau semuanya merupakan kegiatan yang menjunjung hakikat keilmuan, maka kita semua wajib hukumnya ancungkan dua jempol, namun jika hanya melahirkan pemburu hibah, maka tujuan mulia justru terbalik menjadi tujuan murka.

Ring Hakikat
Sejatinya kinerja akademi berupa riset dan penulisan artikel adalah sarana penajam profesionalisasi sekaligus penanda spsialisasi seorang dosen sebagai kompetensinya. Hakikatnya seorang orang dosen melakukan riset akan digunakan dalam pembelajaran, sekaligus untuk memperkuat kualitas pembelajaran. Semua hasil kinerja tadi akan menjadi sebuah produk kinerja yang utuh dan terintegrasi. Hasil riset difungsikan untuk peningkatan mutu ajar, lalu berlanjut terdokumentasi sebagai karya dalam bentuk artikel ilmiah yang dipublikasikan. Hasil riset juga dapat digunakan sebaga model utama lahirnya buku ajar. Ingat sebuah adigium yang mengatakan, bahwa buku ajar yang baik adalah buku ajar yang dibuat oleh dosennya. Lalu jika hasil riset berpotensi di-patenkan, maka akan mendatangkan dua manfaat, satu meningkatkan reputasi diri, namun jika dihilirisasi menhadirkan uang tidak terbilang.

            Semoga ambisi sehat kemenristekdikti memang menghasilkan profesionalisme, dan bangkitkan anak bangsa bertarung karena abilitynya bukan hanya mendorong lahirnya seorang dosen pemburu hibah yang rela kehilangan jatidirinya.