Fenomena Pemburu Hibah
Penelitian : sebuah opini
Oleh : Djoko Adi Walujo
Kini pemerintah sedang menumpahkan ambisi sehatnya,
ingin para dosen meningkatkan kinerja akademinya melalui berbagai bentuk
penelitian ilmiah dan tetunnya dikaitkan dengan artikel ilmiah sebagai out put
medium dan produk akhirnya berupa buku teks, buku ajar, atau referensi lainnya.
Para dosen semangatnya dipompa habis, semua model motivasi dicurahkan, berbagai
wahana dibuat, bahkan payung hukum beserta rule of conduct tertata rapi guna
menunjang keinginan itu. Berbagai skema
dibuat dengan tarif yang sangat jelas. Bahkan semua dosen merespon dengan gegap
gemita, entah karena tergiur oleh tuntutan akademik atau sedang melakukan
amanah profesi, atau yang lain. Mungkin dosen menganggap bahwa riset dipandang
secara filosofis untuk membangun kompetensi, karena dengan riset akan
menguatkan ranah keahlian (expertise) sekaligus meneguhkan tanggung jawab ilmiah.
Namun tentu juga akan melahirkan sikap yang lain, riset dianggap ladang baru
yang digunakan mengisi pundi pundi penebal dompet belaka. Dampak inilah yang
tentunya merupakan sikap yang jauh dari kompetensi akademis maupun kompetensi
personal. Hal ini jika terjadi maka ambisi sehat yang dilakukan pemerintah akan
gagal justru akan menumbuhkan pemburu-pemburu hibah penelitian yang
meninggalkan norma kepatutan.
Capaian lumayan pemerintah:
Data menunjukkan ketika motivasi diberikan kepada
dosen, yang terjadi secara signifikan adalah semakin tumbuh suburkan secara
kuantita dan kualita dosen meneliti. Kini bahkan capaian penulisan artikel
tingkatan mendunia juga tersentuh dengan masif oleh para dosen. Thomson dan
Scopus dulu merupakan barang langka ini sudah hal yang biasa. Proceeding yang
memiliki reputasi dengan berbagai macam indeks dan pengakuan sudah menjadi
makanan sehari hari.
Kementerian juga melakukan motivasi canggih bak
arena pertandingan dengan melucurkan SINTA, setiap mata dan telinga diajak
menjadi wasit adil kinerja penelitian. Sinta bagaikan indek di bursa efek,
sitasi dan dokumen artikel setiap hari diperlobakan. Top 200 Affiliation
menjadi ajang tanding, itupun masih ditambah dengan Top 50 Author yang sengaja
memasang kinerja pribadi dosen. Inilah suatu capaian yang teruji.
Perguruan Tinggi memasang AKSI
Nampaknya ‘bursa efek kinerja ilmiah’ yang kenal
dengan SINTA juga melahirkan kompetisi antar perguruan tinggi. Janji janji bahkan ada yang dijadikan regulasi,
bahwa dosen yang mempunyai kinerja penelitian atau penulis ilmiah akan
mendapatkan bonus layaknya seorang atlet
yang baru saja menggodol medali. Kalau semuanya merupakan kegiatan yang
menjunjung hakikat keilmuan, maka kita semua wajib hukumnya ancungkan dua
jempol, namun jika hanya melahirkan pemburu hibah, maka tujuan mulia justru
terbalik menjadi tujuan murka.
Ring Hakikat
Sejatinya kinerja akademi berupa riset dan
penulisan artikel adalah sarana penajam profesionalisasi sekaligus penanda
spsialisasi seorang dosen sebagai kompetensinya. Hakikatnya seorang orang dosen
melakukan riset akan digunakan dalam pembelajaran, sekaligus untuk memperkuat
kualitas pembelajaran. Semua hasil kinerja tadi akan menjadi sebuah produk
kinerja yang utuh dan terintegrasi. Hasil riset difungsikan untuk peningkatan
mutu ajar, lalu berlanjut terdokumentasi sebagai karya dalam bentuk artikel ilmiah
yang dipublikasikan. Hasil riset juga dapat digunakan sebaga model utama
lahirnya buku ajar. Ingat sebuah adigium yang mengatakan, bahwa buku ajar yang
baik adalah buku ajar yang dibuat oleh dosennya. Lalu jika hasil riset
berpotensi di-patenkan, maka akan mendatangkan dua manfaat, satu meningkatkan
reputasi diri, namun jika dihilirisasi menhadirkan uang tidak terbilang.
Semoga
ambisi sehat kemenristekdikti memang menghasilkan profesionalisme, dan
bangkitkan anak bangsa bertarung karena abilitynya bukan hanya mendorong
lahirnya seorang dosen pemburu hibah yang rela kehilangan jatidirinya.