Surabaya, 17 April 2018
Kampus harus meregulasi diri atau hanya stagnasi di bibir
kemajuan.
Oleh : Djoko Adi Walujo
Tentu berita hangat yang
menempati posisi haed line Harian Jawa Pos pagi ini tanggal 17 April 2018 akan menjadi perhatian semua
perguruan tinggi di Indonesia. Kemungkinan akan menjadi sebuah diskursus sangat
khusus bahkan pada saat ini telah menjadi tranding topik di mana-mana. Whatshap
sejak pagi sudah merespon bahkan semua group WA yang saya ikuti juga hangat
membicarakan hal ini, layaknya semua warta tidak laik dikonsumsi hari ini
kecuali wilayah pemberitaan itu. Tajuk head line yang dimuat Jawa Pos itu
adalah lontaran Pidato Kemeristekdikti di depan para Rektor Perguruan Tinggi
Plat merah terkait dengan regulasi yang membelit inovasi. “Supaya Kampus Tidak
Ketinggalan Zaman” demikian head line itu. Prof. H. Mohamad
Nasir, Ph.D., Ak. Saat itu memceritakan secara panjang bahwa sekarang banyak
regulasi yang membelenggu kemajuan, selanjutnya akan melonggarkan regulasi yang
terkait dengan Jurusan atau program studi. Dikatakan pula bahwa dalam waktu
dekat akan mencabut nomenklatur yang saat ini menghentikan laju keinginan
perguruan tinggi dalam mendirikan sebuah program studi. Bahkan juga disinggung
tentang linieritas dari seorang dosen, dikatakan dengan tegas zaman ini tidak
lagi melakukan pembatasan terkait dengan linieritas. Seorang dosen bebas
berkreasi untuk menentukan bidang minatnya. Sekarang tiada batas seorang dosen
untuk mengembangkan dirinya pada satu bidang tertentu, karena ilmu itu semua bersingungan,
saling sapa, saling melengkapi bahkan menjadi tumpuan holistik sehingga ilmu
tidak hanya mencermati tampilan permukaan.
Pidato yang sangat cerdas sang menteri
mengingatkan saya pada pemikirian Paulo Friere dari berbagai bukunya, utamanya buku legendarisnya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed.
Sesungguhnya orang itu harus mendapatkan kebebasan pengaharapan. Rupanya
lontaran pemikiran Pak Menteri itu juga terkait dengan kemajuan zaman yang
melahirkan bahwa teknologi itu mati muda, selalu lahir teknologi baru dalam ukuran waktu
yang sangat cepat. Regulasi juga akan mati muda setelah bersinggungan dengan
kemajuan, regulasi harus mampu berlari cepat secepat kemajuan teknologi, karena
kelambatan sebuah respon akan berakibat ketinggalan zaman ditinggal kemajuan.
Kita sadar bahwa era ini selalu
menuntut novelty (kebaharuan), dan kebaharuan itu sesungguhnya anak kandung
inovasi. Kemudian ketika kita berbicara inovasi, selalu berbicara hal-hal baru,
bahkan melampaui tata atur yang ada. Inovasi selalu melanggar regulasi, inovasi
juga berhadapan dengan rule of counduct (tata krama), di sinilah peran seorang-orang
pemegang otorita membuka pintu kearifan. Sebuah kearifan yang dibangun oleh
rasionalitas dengan kesadaran bahwa melakukan telaah untuk kemajuan sejatinya
adalah kebenaran. Bagi perguruan tinggi lontoran Menteri memberikan angin
segar, untuk lebih berani dalam nenatap masa depannya dan selalu berkreasi
positif untuk bangsanya. Namun yang lebih diharap adalah sosialisasi yang utuh
kesemua lini, sehingga respon cepat perguruan tinggi lebih pasti dan tidak
terhadang birokrasi. Keleluasaan telah diberikan, lalu tanggung jawab jangan
pula disampingkan, karena kebebasan itu justru kadang juga membuat lalai kita,
bahkan bisa juga menjungkirbalikkan kita di ranah negatif. Keleluasan harus diterima
sebagai harapan kemajuan, bukan digunakan ajang akrobatik untuk kepentingan
pragmatis yang kurang bermakna strategis. Terima Kasih Pak Menteri
No comments:
Post a Comment