Google

Monday, April 16, 2018

Kampus harus meregulasi diri atau hanya stagnasi di bibibir kemajuan



 Surabaya, 17 April 2018

Kampus harus meregulasi diri atau hanya stagnasi di bibir kemajuan.
Oleh : Djoko Adi Walujo
Tentu berita hangat yang menempati posisi haed line Harian Jawa Pos pagi ini tanggal 17  April 2018 akan menjadi perhatian semua perguruan tinggi di Indonesia. Kemungkinan akan menjadi sebuah diskursus sangat khusus bahkan pada saat ini telah menjadi tranding topik di mana-mana. Whatshap sejak pagi sudah merespon bahkan semua group WA yang saya ikuti juga hangat membicarakan hal ini, layaknya semua warta tidak laik dikonsumsi hari ini kecuali wilayah pemberitaan itu. Tajuk head line yang dimuat Jawa Pos itu adalah lontaran Pidato Kemeristekdikti di depan para Rektor Perguruan Tinggi Plat merah terkait dengan regulasi yang membelit inovasi. “Supaya Kampus Tidak Ketinggalan Zaman” demikian head line itu. Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak. Saat itu memceritakan secara panjang bahwa sekarang banyak regulasi yang membelenggu kemajuan, selanjutnya akan melonggarkan regulasi yang terkait dengan Jurusan atau program studi. Dikatakan pula bahwa dalam waktu dekat akan mencabut nomenklatur yang saat ini menghentikan laju keinginan perguruan tinggi dalam mendirikan sebuah program studi. Bahkan juga disinggung tentang linieritas dari seorang dosen, dikatakan dengan tegas zaman ini tidak lagi melakukan pembatasan terkait dengan linieritas. Seorang dosen bebas berkreasi untuk menentukan bidang minatnya. Sekarang tiada batas seorang dosen untuk mengembangkan dirinya pada satu bidang tertentu, karena ilmu itu semua bersingungan, saling sapa, saling melengkapi bahkan menjadi tumpuan holistik sehingga ilmu tidak hanya mencermati tampilan permukaan.
      Pidato yang sangat cerdas sang menteri mengingatkan saya pada pemikirian Paulo Friere  dari berbagai bukunya, utamanya  buku legendarisnya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed. Sesungguhnya orang itu harus mendapatkan kebebasan pengaharapan. Rupanya lontaran pemikiran Pak Menteri itu juga terkait dengan kemajuan zaman yang melahirkan bahwa teknologi itu mati muda,  selalu lahir teknologi baru dalam ukuran waktu yang sangat cepat. Regulasi juga akan mati muda setelah bersinggungan dengan kemajuan, regulasi harus mampu berlari cepat secepat kemajuan teknologi, karena kelambatan sebuah respon akan berakibat ketinggalan zaman ditinggal kemajuan.
Kita sadar bahwa era ini selalu menuntut novelty (kebaharuan), dan kebaharuan itu sesungguhnya anak kandung inovasi. Kemudian ketika kita berbicara inovasi, selalu berbicara hal-hal baru, bahkan melampaui tata atur yang ada. Inovasi selalu melanggar regulasi, inovasi juga berhadapan dengan rule of counduct (tata krama), di sinilah peran seorang-orang pemegang otorita membuka pintu kearifan. Sebuah kearifan yang dibangun oleh rasionalitas dengan kesadaran bahwa melakukan telaah untuk kemajuan sejatinya adalah kebenaran. Bagi perguruan tinggi lontoran Menteri memberikan angin segar, untuk lebih berani dalam nenatap masa depannya dan selalu berkreasi positif untuk bangsanya. Namun yang lebih diharap adalah sosialisasi yang utuh kesemua lini, sehingga respon cepat perguruan tinggi lebih pasti dan tidak terhadang birokrasi. Keleluasaan telah diberikan, lalu tanggung jawab jangan pula disampingkan, karena kebebasan itu justru kadang juga membuat lalai kita, bahkan bisa juga menjungkirbalikkan kita di ranah negatif. Keleluasan harus diterima sebagai harapan kemajuan, bukan digunakan ajang akrobatik untuk kepentingan pragmatis yang kurang bermakna strategis. Terima Kasih Pak Menteri

No comments: