Google

Friday, November 3, 2017

SALAH PENERAPAN TEKNOLOGI MENGHASILKAN DEHUMANISASI



21st CENTURY EDUCATION – BEYONT THE FORNTIERS
PROGRAM TOURONKAI IPGKBA 2016


SALAH PENERAPAN TEKNOLOGI MENGHASILKAN DEHUMANISASI
Oleh:
Djoko Adi Walujo
Rektor Universitas PGRI Adi Buana  Surabaya


SUMMARY:
The fact that the twenty-first (21st) century claims itself as the era of technology is undeniable. However, there are a great number of misimplementation in the educational world which cause people to be alienated. This may be affected by techno mania. Education is expected to be a moderator in order that malpractice in teaching learning will be reduced. The solution which can be offered is a balance between competence and character. In addition, the relevant strategy can be blended learning which can synergize the on-line and off-line learning model.



PENGANTAR
      Kehadiran teknologi yang semakin canggih dalam kuantita dan kualita tak terelakkan kehadirarnnya. Semua direnacanakan untuk kemaslahatan, namun kenyataannya juga membawa dampak sangat buruk, akibat salah penerapan.
     Sesungguhnya kehadiran teknologi itu dapat memperkecil dampak, namun karena kesalahan penerapan justru sebaliknya akan membuat manusia teralienasi dari kodratnya.
Pendidikan harus menjadi pengurai kejadian ini, memperkecil terjadinya dehumanisasi sebagai akibat salah penerapan, kemudian pendidikan membentenginya dengan penanaman nilai-nilai yang manusiawi. Secara filosofis teknologi harus dikontrol dengan kaidah keilmuan secara utuh, mulai dari  sisi ontologis (wujud teknologi itu), epistemologis (bagaimana kehadirannya  secara metodologis), kemudian aksiologis manfaat dan nilai etikanya.     
TEKNOLOGI HADIR DENGAN PLUS MINUSNYA

Teknologi sebagai anak kandung ilmu pengetahuan, hadir secara netral,
tergantung siapa yang menggunakannya
(Albert Einstein)
     
        Kehadiran teknologi yang semula ditujukan untuk membantu meringankan beban manusia dalam mengarungi hidupnya, ternyata membawa dampak pada kehidupan psikologis, sosial, bahkan pada ranah yang memudarkan etika anusia hingga terjadi dehumanisasi. Hal ini telah dirasakan oleh Albert Nobel, ketika atoom yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia kini berubah menjadi musuh manusia, karena penggunaan yang salah. Atoom ternyata dapat berubah menjadi alat pembasmi manusia. Tak terhitung jumlahnya, bahkan ribu hingga jutaan manusia dapat binasa dalam kurun waktu yang sangat cepat. Renungan Albert Nobel itu lahir setelah melihat kedahsyatnya teknologi, namun disisi yang berbeda mendatangkan malapetaka hebat. Inilah sebuah kata kunci (keyword) yang harus dipegang oleh semua orang, utamanya para ulama, pendidik, politisi bahkan para birokrat untuk melihat cermat dapak buruk teknologi.
       Terdapat tiga model orang memandang dan menggunakan teknologi, yakni, technophilia, technomania dan technophobia.
  • Technophilia, adalah pola sikap manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi atas dasar pemikiran yang rasional dan cermat. Dalam memanfaatkan selalu mempertimbangkan dampak buruknya. Bahkan technophilia mengatarkan manusia untuk sadar bahwa teknologi selalu membawa dampak buruk apapun canggihnya teknologi. Dampak buruk teknologi kadang tidak sebanding dengan dampak kebaikkannya. Dikaitkan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, maka jika kita menggunakannya harus berhitung secara cermat bergai kemungkinan dampak negatif yang timbul.
  • Technomania, adalah pola sikap dalam menggunakan teknologi tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. Secara membabi buta, bahkan mengabaikan ruang waktu, ruang etika, bahkan penggunaan teknologi hanya digunakan untuk pemuasan kebutuhan  sesaat. Berpikir yang pendek (shortcut), dan cenderung  individualistik nyaris hadir bersama dalam ranah technomania. Terkait dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, maka harus ada upaya cerdas untuk mencermaati keadaan ini. Guru tidak hanya fasilitator materi, tetapi harus berperan sebagai filter, yang menyaring situs-situs prohibbited secara hati-hati dan tidak diketahui siswa.
  • Tecnophobia, adalah pola sikap yang harus dihindari dalam dunia pendidikan. Pola ini menggambarkan sebuah sikap yang menjauhi teknologi. Dalam technophobia tergambarkan sebuah pola sikap yang menentang hadirnya teknologi, selalu berprasangka negatif terhadap terknologi. Pertimbangan yang digunakan, biasannya adalah sebuah kepercayaan atau nilai-nilai yang menggangaap bahwa teknologi selalu menghacurkan kehidupan manusia. Dikaitkan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, maka jika hal ini terjadi akan menimbulkan terkungkungnya infomasi, bahkan akan cenderung tertutup terhadap perkembangan teknologi.

SARAN PARA PAKAR DI ERA 21

Di Asia para pendidik masih minim inovasi (Vries, 2008), perubahan kruikulum, penerapan model pembelajaran, metode, media pembelajaran yang kreatif masih terus menerus dikembangkan di kalangan pendidik, sehingga kompetensi mereka bisa meningkatkan dan mampu menjawab berbagai tantangan yang datang dari luar.
Disisi lain manajemen dalam dunia pendidikan, termasuk kontrol kualitas (quality control) masih terus menerus digali untuk menjawab tantangan pendidikan dalam rangka melahirkan pendidik yang profesional dan kompeten, melalui pendidikan yang berkualitas dan bermutu melahirkan generasi yang hebat. Sebagai contoh beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa masih banyak siswa baik di Indonesia maupun negara lainnya di Asia Tenggara hasil temuan TIMMS dan PISA kajian bidang IPA dan Matematika, dirasakan masih banyak ketertinggalan dari anak didik kita dalam menjawab soal-soal yang mengarah pada Higher Order Thinking Skill (HOTS), artinya bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan masih ada permasalahan di dalamnya.
Menurut Robert B Tucker (2001) diidentifikasi ada sepuluh tantangan di abad 21 yaitu 1.) kecepatan (speed), 2.) kenyamanan (convinience), 3.) gelombang generasi (age wave), 4.) pilihan (choice), 5.) ragam gaya hidup (life style) 6.) kompetisi harga (discounting), 7.) pertambahan nilai (value added) 8.) pelayanan pelanggan (customer service), 9.) teknologi sebagai andalan (techno age), 10.) jaminan mutu (quality control). Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, dan competency based curriculum (Mohammad Surya, 2011). Paparan Tucker menunjukkan bahwa ada yang harus berubah di dunia pendidikan, tentu perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada, walaupun Tucker sudah memaparkan soslusinya masih memerlukan kajian lagi. Sehingga ke depan dalam proses pendidikan harus ada  perubahan, seperti apa perubahan yang digagas dalam forum ini.

PRAKSIS UNIVERSITAS ADI BUANA
Terdapat isu dalam pendidikan yang sekaligus menjadi jawaban atas tantangan yang ada di dunia pendidikan yakni 2K. Sejatinya 2K  adalah jawaban mendasar atas tantangan ke depan, yakni (1) Kompetensi (2) Karakter (sikap, nilai) (Mutohir, Muhyi, Albertus, 2011).  Karakter kita kenal sebagai nilai, atau sikap, penguatan karakter dapat dilakukan dengan berbagai cara baik menggabungkan nilai karakter global dan nilai local (local wisdom).
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya terus berupaya membangun kompetensi para mahasiswa melalui penguatan tri dharma perguruan tinggi sedangkan penguatan karakter di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya memiliki kekhususan yang dikenal dengan Semangat PAGI (Spirit in Character) P : Peduli (Caring), A : amanah (trustworthiness), G: GIgih (Perseverance) dan I : Inovatif  (Innovatif) (Sutijono, Djoko Adi Walujo, Widodo, Dwi Retnani, M. Muhyi, 2015).  Semangat PAGI mampu menggabungkan nilai dari karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral berkaitan dengan moralitas seseorang seperti nilai peduli dan amanah, sedangkan karakter kinerja butuh inovasi dan kegigihan dalam meraih sukses, seorang innovator (inovasi) yang gigih sehingga meraih sukses (karakter kinerja) karena dibalut oleh amanah  dan peduli (karakter moral). 
Dalam konteks kegiatan di dunia Pendidikan, Berkowits, Bier (2007) Character Pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik ketika diimplementasikan dengan  penuh ketaatan (fidelity), menyeluruh (broadly), dan memberikan dampak yang sangat luar biasa. Berkowits dan Bier menambahkan bahwa Pendidikan Karakter (penanaman nilai) berjalan dengan efffektif yakni dengan pengembangan profesional, strategi pembelajaran, fokus pada pendidikan nilai, pelatihan yang mengarah pada sosial dan kompetensi emosional, keteladanan, strategi manajemen prilaku di kelas, pengabdian pada masyarakat. Pendidikan terus diupayakan untuk mengembangkan kompetensi dan karatker (nilai) melalui beberapa faktor penting yang disampaikan oleh Berkowits dan Bier.
       Sain dan teknologi yang tinggi yang dikuasi seseorang ke depan dapat dijawab oleh pendidikan dengan melahirkan lulusan yang kompeten, tetap harus didukung dengan sikap atau nilai atau karakter yang baik, karena teknologi juga alat maka terkembali kepada pengguna alat tersebut sudah mampu bersikap baik dalam arti menggunakan teknologi untuk kemajuan peradapan umat manusia, kebaikan untuk umat manusia.
       Untuk mengaplikasikan  2 K sehingga berdampak pada perubahan yang signifikan tentu diperlukan suatu cara dalam pembelajarannya secara tepat. Maka salah satu cara tersebut adalah Blended Learning. Menggabungkan tidak hanya satu model belajar di kelas dalam menjawab tantangan-tantangan yang ada. Blended learning atau hybrid learning untuk mengajak anak didik dalam proses belajar di kelas maupun di luar kelas, yang memadukan teknologi masa depan dan saat ini, sehingga penggunaan teknologi yang tepat diharapkan mampu mendorong penguasaan keterampilan dan pengetahuan menjadi lebih baik lagi dengan dukungan teknologi yang ada pada saat ini.
       Peningkatan kompetensi guru terkait dengan penguasaan Blended Learning menjadi sebuah keharusan, mulai dari tataran konsep sampai pada tataran implementasi yang ada di dalam tingkat satuan pendidikan. Berbagai pelatihan yang mengedepankan hgybird learning menjadi salah satu pendorong untuk menjadikan para pendidik memiliki kompetensi yang lebih baik dari sebelumnya, teknologi sudah menjadi bagian dari belajar, teknologi tidak terpisahkan dari belajar sehingga terjadi akselerasi dalam proses pembelajaran.

HARAPAN
Seorang pendidik yang hebat memiliki kompetensi yang berkualitas tinggi namun ia dibalut dengan karakter atau nilai atau sikap yang baik. Agar hal tersebut dapat terwujud dalam dalam dunia pendidikan sampai pada tingkat satuan pendidikan diperlukan suatu pendekatan atau model. Salah satu model yang dapat menjawab tantangan ke depan adalah Blended Learning, yang mengedepankan multi approach. Sehingga penguatan ke depan adalah pembangunan SDM yang Kompeten dan SDM yang berkarakter bisa terwujud baik untuk pendidik maupun anak didik.
            DAFTAR PUSTAKA
Berkowits, Bier, 2007, What Works in Character Education, Journal of Research in Character Education, 5(1), halaman 29-48.
Mutohir, Muhyi Albertus, 2011, Berkarakter dengan Berolahraga dan Berolahraga dengan Berkarakter, Java Pustaka, Surabaya.
Sutijono, Djoko Adi Walujo, Widodo, Dwi Retnani, M. Muhyi, 2015, Best Praksis Pendidikan Karakter Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Melalui Semangat PAGI, Andi Offset, Jogjakarta.
Vries, de L. 2008. Overview of Recent Innovative Practices in Physical Education and Sports in Asia, Editor Lay Cheng Tan, Innovative Practices In Physical Education and Sports In Asia, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, Thailand.
Mohammad Surya 2011, Inovasi Bimbingan Dan Konseling:Menjawab Tangangan Global
http://boharudin.blogspot.co.id/2011/05/inovasi-bimbingan-dan-konselingmenjawab.html

No comments: