Google

Monday, May 7, 2018

INDUSTRI ITU BUKAN KLAIM ETNIS, TAPI SEBUAH HUMANITY DRIVEN


SEMINAR INDUSTRIALISASI ALA BUDAYA INDONESIA
Untaian pemikiran
Oleh: djoko adi walujo

INDUSTRI ITU BUKAN KLAIM ETNIS, TAPI SEBUAH  HUMANITY DRIVEN.       
Ketika mendapat tawaran sebagai pemateri di seminar yang bertajuk Industrialisasi  ala budaya Indonesia saya harus memutar haluan 180 derajat, karena yang saya pahami bahwa industri itu berada di aras global.  Industri sebagai budi daya pikir manusia sejatinya, produk apapun yang dihasilkan  bersifat universal dan komunal, bahwa industri lahir untuk kepentingan manusia tanpa harus memperhatikan latar belakang.  Industri dilahirkan bukan untuk suku tertentu atau bangsa tertentu, namun untuk kemaslahatan manusia di muka bumi tak akan mempedulikan siapa yang membuat (maker) dan siapa yang memakainya (user).
Kita kenal bahwa Wright bersaudara (Wright brothers), Orville (19 Agustus 1871 - 30 January 1948) dan Wilbur (16 April 1867 - 30 May 1912), adalah dua bersaudara yang pernah berhasil menerbangkan pesawat terbang (17 Desember 1903). Sementara sekarang muncul klaim baru bahwa manusia yang berhasil terbang adalah seorang muslim  Abbas Ibn Firnas, matematikawan, astronom, fisikawan, dan ahli penerbangan Muslim dari abad ke-9.  Karena hasil karya industri bersifat universal dan komunal, tentu klaim apapun bentuknya bukan menjadi masalah, misal penemu pengobatan hepatitis C, (Barukh Bloomberg), kemudian penemu Google (Sergey Brin), tidak akan dan tak perlu untuk dicari asal usulnya, yang penting adalah manfaat dari karya.
Kemudian jika kita akan melaras suatu ide dengan membentangkan pikiran tentang Industrialisasi lalu dikaitkan dengan budaya Indonesia, atau ala budaya Indonesia ditakutkan akan ada klaim yang bersifat etnocentris. Oleh karenanya dalam kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan pokok pikiran bahwa Industrialisasi itu adalah Humanity Driven.  Sehingga klaim klaim itu justru menjadi alat untuk menjerat kaki industrialisasi, kalau ingin menjadikan budaya Indonesia, Industri harus mengarah pada Think Globally act Locally. Bukankah budaya Indonesia itu kaya akan toleransi, kemudian cenderung permisif, mengunggulkan harga murah mutu terserah.  Ini adalah keadaan nyata yang mungkin juga masih ada peluang untuk dibantah, dan dipatahkan. (Lanjutan dikembangkan di seminar, sebagai additional edition)
    
 


No comments: