Millenial Entrepreunership
Djoko adi walujo
Sebuah untain pemikiran
Pengantar:
Seorang-orang
maestro catur dunia Gary Kasparov selalu
kalah tipis ketika harus berhadapan dengan mesin artifial, hanya kadang kadang
dengan susah payah menang tipis. Kasparov sangat sadar bahwa logika pikir mesin
artifisial kadang menerjang pikiran manusia kendati manusia yang
menciptakannya. Kreativitas manusia ternyata tak terbatas, kreativitas memiliki
ruang gerah bebas, sehingga kendati dicipta manusia akhirnya melibas juga
manusia.
Buah pikir manusia
membuat rekaan rekaan berupa reengineering
yang melahirkan secara dratis kemajuan teknologi. Mulai revolusi industri
pertama, industrial revolution 1.0, yang hanya menggantikan tenaga manusia dan
hewan tergantikan dengan mesin uap. Sekarang di era revolusi Industri 4.0,
orang berganti menjadi organ yang dilayani mesin artifisial. Kemajuan teknologi
Informasi menyerobot kemajuan, dengan memperpendek ruang dan waktu. Lalu
semuanya merasuk dalam sektor kehidupan manusia dengan amat dalam. Manusia
sudah masuk wilayah teknologi secara masif, kadang banyak pertanyaan muncul,
apakah setelah ini manusia justru tidak keratif lagi, dan ketergantungan pada
teknologi?
Pikiran Pertama
Rebut peluang kelemahan Machine Intelligance
Masih cerita tentang Gary kasparov, ternyata perenungan Kasparov
bertahun tahun tarung melawan mesin
artifisial menorehkan buku berjudul, “Deep Thinking : Where Machine Intelligance Ends and Human Creativity”
(2017). Buku yang ditulis Kasparov seperti harapan dan doa. Mesin artifisial
akan kalah ketika manusia tetap melakukan kreativitas yang kental dengan
sentuhan humanitas. Mesin secanggih apapun tidak bisa menggantikan senyuman
seorang perawat kesehatan. Bagi dunia belajar mengajar senyuman dosen tidak
akan tergantikan. Disinilah peluang pertama seorang entrepreuner merebur
simpati dan empati. Karena mesin tidak memliki hati kendatipun dibuat untuk
memenuhi aspek pelayanan dan kenikmatan manusia. Kenyaman yang diciptakan mesin
artifisial tidak sepenuhnnya menggantikan.
Pikiran Kedua
(Memasang: Different with others)
Dalam era millineal yang
penuh dengan atmosfir elektronik ini, manusia dituntut untuk paham logika,
sehingga masih menjaga marwah kreativitasnya, selalu bersinar dan tidak pudar.
Entrepreunership adalah gaya seorang-orang untuk mampu berada dalam wilayah kreativitas,
yang selalu mengedepankan kebaharuan atau novelty, kemudian berusaha keras untuk
menjadi dirinya sendiri, nir plagiasi atau menghindar dari pola pengekor (follower
style). Seorang entrepeuner mampu
menjaga daya goda keseragaman, tapi harus teguh memahami makna keseragaman. Different
with others adalah daya
pembimbing bersaing dalam bersanding.
Pikiran Ketiga
(Kebaruan-Novelty Daya Tawar
Tinggi)
Berabad-abad kreativitas dibangun, berbagai
karya dihasilkan, tentu satu dengan yang lain menyerupai. Keterlambatan dalam
pamer karya adalah identik dengan ketertinggalan, oleh karenanya setiap karya
harus segera dilindungi. Setiap karya yang terlambat diunggah dan dibumikan
melalui pemasaran yang progresif, maka posis tawar menjadi rendah, bahkan
posisi leader akan menjadi follower.
Novelty adalah mencari ceruk beda, mengembangkan
sesuatu menjadi generasi yang lebih hebat dan lebih bernilai. Lahirnya perangkat
piringan hitam, merubah ke pita magnetik, lalu menjadi kaset (Cassete), hingga
puncaknya menjadi disc. Ternayata generasi baru berikutnya menyusul lebih hebat
dengan memadatkan kapasitas. Biasanya sebuah dis hanya mampu memuat 10 lagi,
selanjutnya berkembang dengan dahsyat ribuan lagi masuk ke dalam compact disc.
Novelty selalu menguburkan teknologi
usang, inilah yang disebut dengan teknologi mati muda (youg technology).
Teknologi tidak pernah mati tua. Kenyataan inilah dunia menututk cretaivitas manusia.
Pikiran keempat
(abundance era)
Katersediaan berbagai sumber berita
sudah tak terkendali dari kuantita maupun kualita, orang akan mudah mengakses
tanpa bayar, dan acapkali tanpa dikonfirmasi, atau menvalidasi secara dalam,
padahal kedalaman sebuah analisis sekarang menjadi kemutlakan.
Ketersediaan inilah yang sering disebut sebagai “abundance era”, era
berkelimpahan. Kemudian dampaknya bisa bernilai positif namun juga membawa
kecenderugan negatif. Khususnya untuk dunia pendidikan yang harus diwaspadai
adalah, seorang-orang memiliki kecenderungan menjadi “user” karena semua
tersedia, dan menghindari menjadi “maker” pembuat. Inilah yang harus diwaspadai
karena yang akan menurunkan budaya literasi, dan meruntuhkan daya imaginasi.
Rantai imaginasi sejatinya akan melahirkan kebaharuan (novelty), selanjutnya
mendorong inovasi, berlanjut mempertajam mental egility. Organisasi sangat
berharap semau anggotanya memiliki
imaginasi yang hebat, lalu wawasan dengan horizon yang kuat, namun
semuanya terpangkas karena informasi tersedia berkelimpahan dan instan
sifatnya. Semua tanya pada “mbah Google” akan dijawab cepat ketimbang tanya
profesor yang kadang udah pikun karena beban cerdasnya kelewat batas.
Pikiran Kelima
Fakta menunjukkan bahwa sebuah berita
telah berkembang dengan tergandakan (terpoleferasi), ter-viralkan dengan
cepat, dengan kelipatan pangkat yang tak terbatas. Kelipatan pangkat tak
terbatas yang akrab dikenali dengan “Exponensial”. Semua kejadian tidak bisa
dibungkus rapi, semua akan terkuak. Sebaik baiknya kemasan (packaging), Serapat
rapatnya daya tutup, akan tercium dan terviralkan.
Mengapa terviralkan karena kemampuan
teknologi informasi saling gayut, atau
saling terkait dan terintegrasi. Kita tidak bisa bersembunyi akan budaya viral
itu, apalagi kita berada di kawasan budaya
yang amat suka gaya dengan model “rerasan” atau pergunjingan. Tanpa
teknologi kita sudah jadi bahan
pembicaraan apalagi teknologi memfasilitasi. Berita satu akan bersambung dengan
yang lain melalui “line”, “whatshap”, “facebook”, “Instagram”, “path”, “pinterst”
atau lainnya.
Apalagi sekarang ada seorang dara dari
Kebumen Jawa Tengah menemukan WA ala Indonesia yang diberi nama Callind-
kepanjangan dari Call Indonesia. Begitu canggihnya callind ditawar provider
hingga 200 milyar.
.
SOLUSI
Jangan membiarkan
kemajuan teknologi atau menutup diri dari perkembangan teknologi, technophonia
dalam teknologi sama dengan membunuh kreativitas. Manfaatkan teknologi didunia
maya, namun tetap memasang badan agar kita tidak kehilangan identitas diri
sebagai manusia.
Upayakan untuk tidak terjangkit Xenophobia, yakni pola sikap yang menjauhi
yang serba asing. Selalu tidak percaya kemudian selalu membangun anti asing.
Sesungguhnya hal yang demikian adalah tidak mungkin terjadi. Apalagi di era
global yang sangat masif ini.
Investasi kraativitas harus dilakukan karena dunia ikut
mengamankan karya karya kita dan siapa yang berkresi akan terpolarisasi.
No comments:
Post a Comment